Pemberantasan
korupsi sangat penting bagi keberlangsungan suatu negara mengingat korupsi bisa
menimbulkan permasalahan yang serius bagi negara karena membahayakan stabilitas
dan keamanan masyarakat; korupsi bisa merusak nilai – nilai demokrasi dan
moralitas; dan membahayakan pembangunan sosial, ekonomi dan politik. Oleh
karenanya, korupsi menjadi issu penting bagi setiap pemimpin negara – negara
maju dalam setiap agenda politiknya, agar mendapat dukungan baik dari rakyat
maupun partai politik. Supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih, dalam
suatu negara hukum, merupakan salah satu kunci berhasil tidaknya suatu negara
dalam melaksanakan tugas pemerintahan umum dan pembangunan di berbagai bidang.
Kesibukan negara kita untuk menciptakan good governance mulai nyata kelihatan,
dengan ditandai bersemangatnya lembaga – lembaga negara seperti PPATK dan KPK
dalam memerangi korupsi. Penegakan hukum kasus korupsi perlahan juga
menunjukkan kemajuan secara kwalitas, dengan dibongkarnya kasus-kasus korupsi
besar yang melibatkan tokoh elit politik maupun melibatkan korporasi. Yang
terkini adalah kasus korupsi Wisma Atlit. Kasus Wima Atlit menjadi hangat
dibicarakan karena melibatkan Nazaruddin, yang merupakan bendahara umum Partai
Demokrat, sehingga memunculkan dugaan, bahwa korupsi tersebut berkaitan dengan
pemenangan pemilu legislative dan pemilu presiden 2009. Dalam melakukan korupsi
yang merugikan keuanagan negara tersebut, tentunya Nazarudin tidak bekerja
sendiri. Menurut penulis ada suatu piranti atau tool of crime yang digunakan
Nazarudin untuk mencuri uang negara, yaitu: Pertama, ada proyek yang digunakan
untuk pengucuran keuangan negara. Kedua, ada organisasi yang digunakan untuk
managemen korupsi. Ketiga, adanya dukungan birokrasi yang berupa aturan atau
kebijakan, dan Keempat, ada korporasi yang digunakan untuk pengerjaan proyek
tersebut. Sehingga korupsi yang dilakukan Nazaruddin terlihat terstruktur dan
termasuk dalam kategori grand korupsi. Namun yang perlu digaris bawahi, hingga
saat ini penegak hukum belum menindak korporasi jahat yang terlibat dalam
pidana itu, sehingga dikawatirkan bisa merusak kewibawaan negara, sebab negara
dianggap tidak berdaya melawan korporasi. Dalam kajian teoritis, Koruptor bukan
saja harus dihukum tetapi juga harus dibongkar modus operandi dan sindikasinya
sehingga dari situ dapat ditemukan formula yang tepat untuk mencegah korupsi,
serta penegakan hukum yang telah dilakukan nantinya akan lebih adil dan memberi
manfaat bagi rakyat. Sepintas, kasus korupsi Wisma Atlit tersebut dapat
dikategorikan sebagai kejahatan korporasi karena dilakukan korporasi. Clinard
dalam Koesparmono mengatakan, bahwa kejahatan korporasi adalah setiap perbuatan
yang dilakukan oleh korporasi yang dapat dihukum oleh negara, tanpa
mengindahkan apakah dihukum berdasarkan hukum administratif, hukum perdata,
atau hukum pidana. Selain memiliki perluasan sanksi, kejahatan korporasi juga
unik karena dilakukan oleh orang kaya, terpelajar atau corporate executive yang
oleh Koesparmono dikatakan melampaui hukum pidana. Oleh karena itu kiranya
kajian kejahatan korporasi dalam kasus korupsi Wisma Atlit menjadi bahasan yang
menarik.
Kronologis
Kasus Wisma Atlit Korupsi Wisma Atlit terbongkar setelah dilakukan penyadapan
oleh tim penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan diketahui
kronologis kasus sebagai berikut: Nazaruddin selaku anggota DPR RI telah
mengupayakan agar PT Duta Graha Indah Tbk menjadi pemenang yang mendapatkan
proyek pembangunan wisma atlet dengan mendapat jatah uang sebesar Rp4,34 miliar
dengan nilai kontrak senilai Rp 191.672.000.000. jatah Nazarudin diberikan
dalam bentuk empat lembar cek dari PT DGI yang diberikan oleh Idris. Idris yang
mempunyai tugas mencari pekerjaan (proyek) untuk PT DGI, bersama-sama dengan
Dudung Purwadi selaku Direktur Utama PT DGI. Nazaruddin sendiri lalu bertemu
dengan Sesmenpora Wafid Muharam dengan ditemani oleh anak buahnya Rosa. Dalam
pertemuan yang terjadi sekitar Agustus 2010 di sebuah rumah makan di belakang
Hotel Century Senayan itu, Nazaruddin meminta Wafid untuk dapat
mengikutsertakan PT DGI dalam proyek yang ada di Kemenpora. Singkat cerita,
setelah mengawal PT DGI Tbk untuk dapat ikut serta dalam proyek pembangunan
Wisma Atlet, Rosa dan Idris lalu sepakat bertemu beberapa kali lagi untuk
membahas rencana pemberian success fee kepada pihak-pihak yang terkait dengan
pekerjaan pembangunan Wisma Atlet. Pada Desember 2010, PT DGI Tbk pun akhirnya
diumumkan sebagai pemenang lelang oleh panitia pengadaan proyek pembangunan
Wisma Atlet. Kemudian dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Mindo Rosalina
Manulang, eks direktur marketing Permai Group, perusahaan Nazaruddin mengatakan
bahwa Angelina Shondak dan I Wayan Koster juga menerima uang suap senilai Rp 5
miliar karena juga termasuk pihak-pihak terkait dalam pemenangan tender.
Korupsi
Wisma Atlit Dalam Pandangan Konsep Kejahatan Korporasi Korupsi Wisma Atilt
merupakan kejahatan white-colar crime dimana pelaku – pelakunya merupakan orang
cerdik pandai dan bukan orang miskin. Istilah white-colar crime pertama kali
dikemukakan oleh Sutherland, yang merujuk pada pelaku kelahatan dengan tipe
pelaku berasal dari orang – orang sosial ekonomi tinggi yang melakukan
pelanggaran – pelanggaran terhadap hukum. Pengertian kreteria pelaku kejahatan,
dalam kasus korupsi Wisma Atilt nampaknya sama dengan pengertian pelaku
kejahatan white-colar crime dari Sutherland yaitu dilakukan oleh kelompok
eksekutif.
Konsep kejahatan korporasi atau white-colar crime berbeda dengan kejahatan konvensional. Dalam konsep kejahatan konvensional yang dikatakan sebagai penjahat adalah orang yang melakukan kejahatan secara langsung, sedangkan pelaku kejahatan dalam kejahatan korporasi adalah korporasi yang melakukan pelanggaran. Walaupun sebetulnya pelakunya juga orang – orang dalam korporasi. Oleh karena itu, tidak gampang menentukan pelaku dalam kasus tersebut, mengingat korupsi tersebut dilakukan oleh banyak pihak, terstruktur dan melibatkan birokrasi. Selain itu hukum pidana kita juga terbiasa hanya menjerat pelaku langsung dimana biasanya orang-orang di belakang yang mengatur terjadinya kejahatan sulit tersentuh oleh hukum.
Korporasi yang melakukan kejahatan korupsi melakukan praktek-praktek illegal sebagai sarana untuk melakukan korupsi, misalnya dengan melakukan penyuapan kepada pajabat negara atau pemegang kebijakan lelang, Mark up nilai proyek, pengurangan kwalitas produk dan sebagainya. Kejahatan – kejahatan tersebut sulit diketahui oleh masyarakat karena memang kejahatan yang terselubung (invincible crime) dan dibungkus dengan aturan – aturan yang bisa dicari alasan pembenarnya. Kejahatan tersebut baru bisa dikekahui bila ada orang dalam atau seseorang yang membocorkannya kepada public. Kemudian penegak hukum melakukan penyelidikan dengan melibatkan auditor keuangan, sehingga kejahtan tersebut menjadi terang. Menurut Koesparmono, suatu kejahatan diangap sebagai kejahatan korporasi jika mengandung unsur – unsur sebagi berikut: (1), Tindak pidana dilakukan oleh orang –orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain dalam lingkup usaha korposari tersebut baik sendiri – sendiri atau bersama – sama. (2), Perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan. (3), Pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. Pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi. Lebih lanjut Koesparmono juga mengatakan bahwa, berdasarkan rumusan unsur pertama, yang disebut kejahatan korporasi tidak terbatas pada kejahatan yang dilakukan oleh pengurus korporasi tetapi juga yang dilakukan oleh orang – orang yang bertindak untuk kepentingan korporasi, misalnya staf atau tenaga kontrak yang memiliki hubungan kerja dalam korporasi. Oleh karena itu jika kita memfonis bahwa kejahatan korupsi Wisma Atlit sebgai kejahatan korporasi, maka unsur – unsur kejahatan atau pidana kejahatan tersebut harus masuk dalam kreteria unsur – unsur kejahatan korporasi. Kemudian berkaitan dengan unsur ketiga, maka selain pertanggung jawaban perorangan, tanggung jawab hukum kejahatan korupsi Wisma Atlit juga bisa dibebankan kepada korporasi yang terlibat. Namun poin ini belum dilakukan oleh penyidik KPK atau penegak hukum lainnya.
Berdasarkan sumber yang telah diperoleh, kasus korupsi Wiama Atlit dilakukan secara terstruktur dalam wadah perusahaan dan melibatkan penyelenggara negara. Kasus penyuapan yang terjadi merupakan upaya memuluskan agar tender jatuh kepada perusaan tertentu. Penulis meyakini semua rumusan unsur dalam definisi kejahatan korporasi singkron dengan kejahatan korupsi Wisma Atlit dengan pertimbangan sebagai berikut: Pertama Tindak pidana dilakukan oleh orang –orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain dalam lingkup usaha korposari tersebut baik sendiri – sendiri atau bersama – sama. Pemikirannya adalah, bahwa proyek tersebut merupakan proyek besar yang memakan biaya senilai Rp 191.672.000.000 yang tidak mungkin struktur tertinggi dalam korporasi tidak mengetahui jika PT DGI bagi-bagi Suap Wisma Atlet. Bukti tersebut sebetulnya sudah cukup kuat untuk membuat dugaan bahwa, apa yang dilakukan PT DGI dikategorikan sebagai kejahatan korporasi karena bagi-bagi uang suap kepada beberapa pihak diketahui oleh petinggi-petinggi PT tersebut, seperti Direktur Utama Dudung Purwadi. Bukan hanya itu, fakta lain yang mendukung tuduhan itu adalah cek yang diberikan PT DGI ke pada pihak – pihak terkait pemenangan tender termasuk yang diberikan kepada Wafid Muharram ditandatangani bagian keuangan PT DGI. Kemudian untuk unsur Kedua yaitu: bahwa perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan. Dimana Analoginya adalah proyek tersebut adalah proyek negara, yang tidak mungkin diberikan kepada perusaan yang tidak legal. Perusahaan yang di menangkan dalam tender oleh Kementrian Pemuda dan olahraga pasti mempunyai spesifikasi sesuai dengan kebutuhan proyek, termasuk yang menyangkut masalah kelengkapan administrasi perusahaan. Olehkarena itu, rumusan unsur Ketiga yaitu pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan atau pengurusnya dapat diterapkan dalam kasus ini. Mengacu pada asumsi demikian, penulis memiliki pemikiran bahwa seluruh pihak terkait kasus tersebut, dapat dikenakan pidana berdasarkan rumusan delik pada KUHP atau dengan Undang-Undang KPK sesuai dengan perannya masing masing. Kemudian untuk korporasi yang terlibat dapat dijatuhi sanksi sesuai aturan dalam kejahatan korporasi misalnya digugat perdata ataupun penutupan opersional perusahaan. Sehingga, seharusnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak memeriksa para saksi dan tersangka kasus suap wisma atlet dalam kapasitas sebagai individu, tetapi sebagai pengurus korporasi agar korporasi juga bisa dijatuhi sanksi karena bentuk penjatuhan sanksi kepada korporasi merupakan bagian kontrol pemerintah kepada korporasi. Dalam konteks negara, seharusnya keseriusan negara dalam memberantas korupsi juga harus dipertanyakan, dimana kejahatan tersebut banyak melibatkan penyelenggara negara serta kebijakan–kebijakan atau regulasi yang dikeluarkan oleh negara kerap membuat celah terjadinya korupsi. Hal ini mengisyaratkan bahwa negeri ini belum mampu membuat regulasi dan sistem yang kebal terhadap korupsi. Romany mengatakan, seharusnya negara dengan kekuasaan politiknya, bisa menjamin terselenggaranya kebijakan dan kinerja yang efektif bersih, bukan sebaliknya, melalui pejabat publiknya dan jajarannya bertindak melawan hukum dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Kendati demikian, negara bukan termasuk korporasi yang tidak bisa dimintai pertanggung jawaban layaknya korporasi, namun pejabat–pejabatnya yang terkait kejahatan bisa dipidana.
Konsep kejahatan korporasi atau white-colar crime berbeda dengan kejahatan konvensional. Dalam konsep kejahatan konvensional yang dikatakan sebagai penjahat adalah orang yang melakukan kejahatan secara langsung, sedangkan pelaku kejahatan dalam kejahatan korporasi adalah korporasi yang melakukan pelanggaran. Walaupun sebetulnya pelakunya juga orang – orang dalam korporasi. Oleh karena itu, tidak gampang menentukan pelaku dalam kasus tersebut, mengingat korupsi tersebut dilakukan oleh banyak pihak, terstruktur dan melibatkan birokrasi. Selain itu hukum pidana kita juga terbiasa hanya menjerat pelaku langsung dimana biasanya orang-orang di belakang yang mengatur terjadinya kejahatan sulit tersentuh oleh hukum.
Korporasi yang melakukan kejahatan korupsi melakukan praktek-praktek illegal sebagai sarana untuk melakukan korupsi, misalnya dengan melakukan penyuapan kepada pajabat negara atau pemegang kebijakan lelang, Mark up nilai proyek, pengurangan kwalitas produk dan sebagainya. Kejahatan – kejahatan tersebut sulit diketahui oleh masyarakat karena memang kejahatan yang terselubung (invincible crime) dan dibungkus dengan aturan – aturan yang bisa dicari alasan pembenarnya. Kejahatan tersebut baru bisa dikekahui bila ada orang dalam atau seseorang yang membocorkannya kepada public. Kemudian penegak hukum melakukan penyelidikan dengan melibatkan auditor keuangan, sehingga kejahtan tersebut menjadi terang. Menurut Koesparmono, suatu kejahatan diangap sebagai kejahatan korporasi jika mengandung unsur – unsur sebagi berikut: (1), Tindak pidana dilakukan oleh orang –orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain dalam lingkup usaha korposari tersebut baik sendiri – sendiri atau bersama – sama. (2), Perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan. (3), Pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. Pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi. Lebih lanjut Koesparmono juga mengatakan bahwa, berdasarkan rumusan unsur pertama, yang disebut kejahatan korporasi tidak terbatas pada kejahatan yang dilakukan oleh pengurus korporasi tetapi juga yang dilakukan oleh orang – orang yang bertindak untuk kepentingan korporasi, misalnya staf atau tenaga kontrak yang memiliki hubungan kerja dalam korporasi. Oleh karena itu jika kita memfonis bahwa kejahatan korupsi Wisma Atlit sebgai kejahatan korporasi, maka unsur – unsur kejahatan atau pidana kejahatan tersebut harus masuk dalam kreteria unsur – unsur kejahatan korporasi. Kemudian berkaitan dengan unsur ketiga, maka selain pertanggung jawaban perorangan, tanggung jawab hukum kejahatan korupsi Wisma Atlit juga bisa dibebankan kepada korporasi yang terlibat. Namun poin ini belum dilakukan oleh penyidik KPK atau penegak hukum lainnya.
Berdasarkan sumber yang telah diperoleh, kasus korupsi Wiama Atlit dilakukan secara terstruktur dalam wadah perusahaan dan melibatkan penyelenggara negara. Kasus penyuapan yang terjadi merupakan upaya memuluskan agar tender jatuh kepada perusaan tertentu. Penulis meyakini semua rumusan unsur dalam definisi kejahatan korporasi singkron dengan kejahatan korupsi Wisma Atlit dengan pertimbangan sebagai berikut: Pertama Tindak pidana dilakukan oleh orang –orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain dalam lingkup usaha korposari tersebut baik sendiri – sendiri atau bersama – sama. Pemikirannya adalah, bahwa proyek tersebut merupakan proyek besar yang memakan biaya senilai Rp 191.672.000.000 yang tidak mungkin struktur tertinggi dalam korporasi tidak mengetahui jika PT DGI bagi-bagi Suap Wisma Atlet. Bukti tersebut sebetulnya sudah cukup kuat untuk membuat dugaan bahwa, apa yang dilakukan PT DGI dikategorikan sebagai kejahatan korporasi karena bagi-bagi uang suap kepada beberapa pihak diketahui oleh petinggi-petinggi PT tersebut, seperti Direktur Utama Dudung Purwadi. Bukan hanya itu, fakta lain yang mendukung tuduhan itu adalah cek yang diberikan PT DGI ke pada pihak – pihak terkait pemenangan tender termasuk yang diberikan kepada Wafid Muharram ditandatangani bagian keuangan PT DGI. Kemudian untuk unsur Kedua yaitu: bahwa perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan. Dimana Analoginya adalah proyek tersebut adalah proyek negara, yang tidak mungkin diberikan kepada perusaan yang tidak legal. Perusahaan yang di menangkan dalam tender oleh Kementrian Pemuda dan olahraga pasti mempunyai spesifikasi sesuai dengan kebutuhan proyek, termasuk yang menyangkut masalah kelengkapan administrasi perusahaan. Olehkarena itu, rumusan unsur Ketiga yaitu pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan atau pengurusnya dapat diterapkan dalam kasus ini. Mengacu pada asumsi demikian, penulis memiliki pemikiran bahwa seluruh pihak terkait kasus tersebut, dapat dikenakan pidana berdasarkan rumusan delik pada KUHP atau dengan Undang-Undang KPK sesuai dengan perannya masing masing. Kemudian untuk korporasi yang terlibat dapat dijatuhi sanksi sesuai aturan dalam kejahatan korporasi misalnya digugat perdata ataupun penutupan opersional perusahaan. Sehingga, seharusnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak memeriksa para saksi dan tersangka kasus suap wisma atlet dalam kapasitas sebagai individu, tetapi sebagai pengurus korporasi agar korporasi juga bisa dijatuhi sanksi karena bentuk penjatuhan sanksi kepada korporasi merupakan bagian kontrol pemerintah kepada korporasi. Dalam konteks negara, seharusnya keseriusan negara dalam memberantas korupsi juga harus dipertanyakan, dimana kejahatan tersebut banyak melibatkan penyelenggara negara serta kebijakan–kebijakan atau regulasi yang dikeluarkan oleh negara kerap membuat celah terjadinya korupsi. Hal ini mengisyaratkan bahwa negeri ini belum mampu membuat regulasi dan sistem yang kebal terhadap korupsi. Romany mengatakan, seharusnya negara dengan kekuasaan politiknya, bisa menjamin terselenggaranya kebijakan dan kinerja yang efektif bersih, bukan sebaliknya, melalui pejabat publiknya dan jajarannya bertindak melawan hukum dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Kendati demikian, negara bukan termasuk korporasi yang tidak bisa dimintai pertanggung jawaban layaknya korporasi, namun pejabat–pejabatnya yang terkait kejahatan bisa dipidana.
Penutup
Ada tiga konsekuensi yang akan diterima PT Duta Graha Indah jika memang terbukti melakukan kejahatan korporasi.
Pakar hukum pidana, Yenti Garnasih mengatakan, kemungkinan pertama yang akan diterima adalah, siapa saja pengurus, termasuk pimpinan dan memegang decision maker. Untuk kemungkinan pertama, sudah ada yang menjadi korban. Manajer Pemasaran PT DGI Mohammad El Idris divonis dua tahun penjara. Selain itu El Idris didenda Rp 200 subsider enam bulan kurungan.
"Kemungkinan kedua, yang dapat dipidana adalah korporasinya yang dihukum. Sanksinya, perusahaan tersebut bisa dibekukan dan dijatuhi denda," sambungnya.
Yang ketiga, sambung Doktor Pencucian Uang Pertama di Indonesia, adalah kombinasi keduanya, yakni pihak korporasi dan pengurusnya sama-sama dihukum
Pakar hukum pidana, Yenti Garnasih mengatakan, kemungkinan pertama yang akan diterima adalah, siapa saja pengurus, termasuk pimpinan dan memegang decision maker. Untuk kemungkinan pertama, sudah ada yang menjadi korban. Manajer Pemasaran PT DGI Mohammad El Idris divonis dua tahun penjara. Selain itu El Idris didenda Rp 200 subsider enam bulan kurungan.
"Kemungkinan kedua, yang dapat dipidana adalah korporasinya yang dihukum. Sanksinya, perusahaan tersebut bisa dibekukan dan dijatuhi denda," sambungnya.
Yang ketiga, sambung Doktor Pencucian Uang Pertama di Indonesia, adalah kombinasi keduanya, yakni pihak korporasi dan pengurusnya sama-sama dihukum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar