Listening
Conversation 1
A : This is urgent so it's really important she call's me back today
B : Don't worry l'l make sure she get the message and call she back and
(she call's me back today)
Conversation 2
A : I'm sorry, i'm nothing to the not your call but please leave your message off to the turn
B : oww, hallo mark, it's richard here calling on first day afternoon at about two clock
(i'm nothing to the not your call)
baak.gunadarma.ac.id
studentsite.gunadarma.ac.id
soft skill
Rabu, 02 Juli 2014
Jumat, 25 April 2014
softskil bahasa inggris
M.Rizky.Masrie
14210608/4EA09
Subject
& verb agreement
Singular
|
Plural
|
Is
|
Are
|
Has
|
Have
|
Was
|
Ware
|
Agrees
|
Agree
|
Approves
|
Approve
|
The number
|
A number
|
does
|
Do
|
1.
Noun each/every >>
verb singular
Jika
subjeknya menggunakan each/every maka verb yang digunakan adalah verb singular
Contoh
: each book at the book store is listed
2.
Noun + proposional phrase >>
verb lihat noun
Contoh
: the book on the table is mine
3.
Noun plural >> verb plural
Jika
subjeknya menggunakan plural maka verb yang digunakan juga plural
Contoh
: the books on the table are mine
4. Noun
singular >> verb singular
Jika
subjeknya menggunakan singular maka verb yang digunakan juga singular
Contoh
: the apples at the markets are cheap
Same
of singular noun >>
singular verb
A
lot of plural noun >>
plural verb
None
of contoh :
Half
of -some of my
homework is easy
Most
of -some of my
homeworks are easy
Each
of plural noun >>
verb tetap singular
Every
of contoh :
One
of -each of my
friend is here
The
number >>
verb singular
Contoh
: the number of student in this class is 20
A
number >>
verb plural
Contoh
: a number of student are missed the class
Contoh
soal
1.
Some
of the fruit in this bowl (is/are) …. rotten
Some of the fruit in this bown is rotten
2.
Some
of the apples in that bowl (is/are) …. rotten
Some of the apples in that bowl are rotten
3.
Most
of the movies (is/are) ….funny
Most of the movies are funny
4.
Half
of this money (is/are) … yours
Half of this money is yours
5.
A
lot of clothing in this stories (is/are) … on the sale this week
A lot of clothing in this stories is on the sale this week
6.
Each
of the boys in the class (has/have) … his own note book
Each of the boys in this class has his own note book
7.
None
of the animals at the zoo (is/are) … free to room
None of the animals at the zoo is free to room
8.
The
number of employes in my company (is/are) … approximately ten thousand
The number of employes in my company are approximately ten thousand
9.
(does/do)
… all of this homework have to be finished by tomorrow?
Does all of this homework have to be finished by tomorrow?
studentsite.gunadarma.ac.id
baak.gunadarma.ac.id
studentsite.gunadarma.ac.id
baak.gunadarma.ac.id
Selasa, 26 November 2013
Perusahaan yang menerapkan sistem utilitarianisme dan CSR
ETIKA UTILITARIANISME DALAM BISNIS
Utilitarianisme adalah paham dalam filsafat moral yang menekankan
manfaat atau kegunaan dalam menilai suatu tindakan sebagai prinsip moral yang
paling dasar, untuk menentukan bahwa suatu perilaku baik jika bisa memberikan
manfaat kepada sebagian besar konsumen atau masyarakat. dalam konsep ini
dikenal juga “Deontologi” yang berasal dari kata Yunani “deon” yang berarti
kewajiban. Deontologi adalah teori etika yang menyatakan bahwa yang menjadi
dasar baik buruknya suatu perbuatan adalah kewajiban seseorang untuk berbuat
baik kepada sesama manusia, sebagaimana keinginan diri sendiri selalu berlaku
baik pada diri sendiri.
Menurut paham Utilitarianisme bisnis adalah etis, apabila kegiatan
yang dilakukannya dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya pada konsumen
dan masyarakat. jadi kebijaksanaan atau tindakan bisnis yang baik adalah
kebijakan yang menghasilkan berbagai hal yang baik, bukan sebaliknya malah
memberikan kerugian.
Nilai positif Utilitarianisme terletak pada sisi rasionalnya dan
universalnya. Rasionalnya adalah kepentingan orang banyak lebih berharga
daripada kepentingan individual. secara universal semua pebisnis dunia saat ini
berlomba-lomba mensejahterakan masyarakat dunia, selain membuat diri mereka
menjadi sejahtera. berbisnis untuk kepentingan individu dan di saat yang
bersamaan mensejahterakan masyarakat luas adalah pekerjaan profesional sangat
mulia. dalam teori sumber daya alam dikenal istilah Backwash Effect, yaitu di
mana pemanfaatan sumber daya alam yang terus menerus akan semakin merusaka
kualitas sumber daya alam itu sendiri, sehingga diperlukan adanya upaya
pelastarian alam supaya sumber daya alam yang terkuras tidak habis ditelan
jaman.
di dalam analisa pengeluaran dan keuntungan perusahaan memusatkan
bisnisnya untuk memperoleh keuntungan daripada kerugian. proses bisnis
diupayakan untuk selalu memperoleh profit daripada kerugian. Keuntungan dan
kerugian tidak hanya mengenai finansial, tapi juga aspek-aspek moral seperti
halnya mempertimbangkan hak dan kepentingan konsumen dalam bisnis. dalam dunia
bisnis dikenal corporate social responsibility, atau tanggung jawab sosial
perusahaan. suatu pemikiran ini sejalan dengan konsep Utilitarianisme, karena
setiap perusahaan mempunyai tanggaung jawab dalam mengembangkan dan menaikan
taraf hidup masyarakat secara umum, karena bagaimanapun juga setiap perusahaan
yang berjalan pasti menggunakan banyak sumber daya manusia dan alam, dan
menghabiskan daya guna sumber daya tersebut.
kesulitan dalam penerapan Utilitarianisme yang mengutamakan
kepentingan masyarakat luas merupakan sebuah konsep bernilai tinggi, sehingga
dalam praktek bisnis sesungguhnya dapat menimbulkan kesulitan bagi pelaku
bisnis. misalnya dalam segi finansial perusahaan dalam menerapkan konsep
Utilitarianisme tidak terlalu banyak mendapat segi manfaat dalam segi keuangan,
manfaat paling besar adalah di dalam kelancaran menjalankan bisnis, karena
sudah mendapat ‘izin’ dari masyrakat sekitar, dan mendapat citra positif di
masyarakat umum. namun dari segi finansial, Utilitarianisme membantu (bukan
menambah) peningkatan pendapat perusahaan.
1. Etika Utilitarianisme
Etika utilitarianisme adalah tentang
bagaimana menilai baik buruknya suatu kebijaksanaan social politik, ekonomi dan
legal secara moral.
2. Kriteria dan Prinsi Etika
Utilitarianisme
a. Manfaat
b. Manfaat Terbesar
c. Manfaat terbesar Bagi Sebanyak
Mungkin Orang
3. Nilai Positif Etika
Utilitarianisme
a. Rasionalitas
b. Utilitarianisme sangat menghargai
kebebasan setiap pelaku moral
c. Universalitas
4. Utilitarianisme Sebagai Proses
dan Sebagai Standar Penilaian
Etika utilitarianisme digunakan
sebagai proses untuk mengambil keputusan, kebijaksanaan atau untuk bertindak.
Etika Utilitarianisme sebagai
standar penilaian bagi tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan.
5. Analisis Keuntungan dan Kerugian
Manfaat dan kerugian sangat dikaitkan dengan semua orang yang
terkait, sehingga analisis keuntungan dan kerugian tidak lagi semata-mata
tertuju langsung pada keuntungan bagi perusahaan.
Analisis keuntungan dan kerugian
dalam kerangka etika bisnis:
Keuntungan dan kerugian, yang
dianalisis tidak dipusatkan pada keuntungan dan kerugian perusahaan.
Analisis keuntungan dan kerugian
tidak ditempatkan dalam kerangka uang.
Analisis keuntungan dan kerugian
untuk jangka panjang.
6. Kelemahan Etika Utilitarianisme
a. Manfaat merupakan konsep yang
begitu luas sehingga dalam kenyataan praktis akan menimbulkan kesulitan yang
tidak sedikit.
b. Etika utilitarianisme tidak
pernah menganggap serius nilai suatu tindakan pada dirinya sendiri dan hanya
memperhatikan niali suatu tindakan sejauh berkaitan dengan akibatnya.
c. Etika utilitarianisme tidak
pernah menganggap serius kemauan baik seseorang.
d. Variable yang dinilai tidak
semuanya dapat dikualifikasi.
e. Seandainya ketiga criteria dari
etika utilitarianisme saling bertentangan, maka akan ada kesulitan dalam
menentukan prioritas di antara ketiganya.
f. Etika utilitarianisme membenarkan
hak kelompok minoritas tertentu dikorbankan demi kepentingan mayoritas.
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
atau CSR (corporate social responsibility)
kini jadi frasa yang semakin populer dan marak diterapkan
perusahaan di berbagai belahan dunia. Menguatnya terpaan prinsip good corporate
governance seperti fairness, transparency, accountability, dan responsibility
telah mendorong CSR semakin menyentuh “jantung hati” dunia bisnis.
Di tanah air, debut CSR semakin menguat terutama setelah dinyatakan
dengan tegas dalam UU PT No. 40 Tahun 2007 yang belum lama ini disahkan DPR.
Disebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau bersangkutan
dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan
(Pasal 74 ayat 1).
Namun, UU PT tidak menyebutkan secara terperinci berapa besaran
biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk CSR serta sanksi bagi yang
melanggar. Pada ayat 2, 3, dan 4 hanya disebutkan bahwa CSR “dianggarkan dan
diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan
memerhatikan kepatutan dan kewajaran.” PT yang tidak melakukan CSR dikenakan
sanksi sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut
mengenai CSR ini baru akan diatur oleh peraturan pemerintah yang hingga kini
belum dikeluarkan.
Akibatnya, standar operasional mengenai bagaimana menjalankan dan
mengevaluasi kegiatan CSR masih diselimuti kabut misteri. Selain sulit diaudit,
CSR juga menjadi program sosial yang “berwayuh” wajah dan mengandung banyak
bias.
Banyak perusahaan yang hanya membagikan sembako atau melakukan
sunatan massal setahun sekali telah merasa melakukan CSR. Tidak sedikit
perusahaan yang menjalankan CSR berdasarkan copy-paste design atau sekadar
“menghabiskan” anggaran. Karena aspirasi dan kebutuhan masyarakat kurang
diperhatikan, beberapa program CSR di satu wilayah menjadi seragam dan
seringkali tumpang tindih.
Walhasil, alih-alih memberdayakan masyarakat, CSR malah berubah
menjadi Candu (menimbulkan kebergantungan pada masyarakat), Sandera (menjadi
alat masyarakat memeras perusahaan), dan Racun (merusak perusahaan dan
masyarakat).
Perusahaan yang Telah Menerapkan
Utilitarianisme atau CSR
Sejak didirikan pada 5 Desember 1933Unilever Indonesia telah tumbuh
menjadi salah satu perusahaan terdepan untuk produk Home and Personal Care
serta Foods & Ice Cream di Indonesia. Rangkaian Produk Unilever Indonesia
mencangkup brand-brand ternama yang disukai di dunia seperti Pepsodent, Lux,
Lifebuoy, Dove, Sunsilk, Clear, Rexona, Vaseline, Rinso, Molto, Sunlight,
Walls, Blue Band, Royco, Bango, dan lain-lain.
Selama ini, tujuan perusahaan kami tetap sama, dimana kami bekerja
untuk menciptakan masa depan yang lebih baik setiap hari; membuat pelanggan
merasa nyaman, berpenampilan baik dan lebih menikmati kehidupan melalui brand
dan jasa yang memberikan manfaat untuk mereka maupun orang lain; menginspirasi
masyarakat untuk melakukan tindakan kecil setiap harinya yang bila digabungkan
akan membuat perubahan besar bagi dunia; dan senantiasa mengembangkan cara baru
dalam berbisnis yang memungkinkan kami untuk tumbuh sekaligus mengurangi dampak
lingkungan.
Saham perseroan pertamakali ditawarkan kepada masyarakat pada tahun
1981 dan tercatat di Bursa Efek Indonesia seja 11 Januari 1982. Pada akhir
tahun 2011, saham perseroan menempati peringkat keenam kapitalisasi pasar
terbesar di Bursa Efek Indonesia. Cleaning productPerseroan memiliki dua anak
perusahaan : PT Anugrah Lever (dalam likuidasi), kepemilikan Perseroan sebesar
100% (sebelumnya adalah perusahaan patungan untuk pemasaran kecap) yang telah
konsolidasi dan PT Technopia Lever, kepemilikan Perseroan sebesar 51%, bergerak
di bidang distribusi ekspor, dan impor produk dengan merek Domestos Nomos.
Bagi Unilever, sumber daya manusia adalah pusat dari seluruh
aktivitas perseroan. Kami memberikan prioritas pada mereka dalam pengembangan
profesionalisme, keseimbangan kehidupan, dan kemampuan mereka untuk
berkontribusi pada perusahaan. Terdapat lebih dari 6000 karyawan tersebar di
seluruh nutrisi.
Perseroan mengelola dan mengembangkan bisnis perseroan secara
bertanggung jawab dan berkesinambungan. Nilai-nilai dan standar yang Perseroan
terapkan terangkum dalam Prinsip Bisnis Kami. Perseroan juga membagi standar
dan nilai-nilai tersebut dengan mitra usaha termasuk para pemasok dan
distributor kami. Perseroan memiliki enam pabrik di Kawasan Industri Jababeka,
Cikarang, Bekasi, dan dua pabrik di Kawasan Industri Rungkut, Surabaya, Jawa
Timur, dengan kantor pusat di Jakarta. Produk-produk Perseroan berjumlah
sekitar 43 brand utama dan 1,000 SKU, dipasarkan melalui jaringan yang
melibatkan sekitar 500 distributor independen yang menjangkau ratusan ribu toko
yang tersebar di seluruh Indoneisa. Produk-produk tersebut didistribusikan
melalui pusat distribusi milik sendiri, gudang tambahan, depot dan fasilitas
distribusi lainnya.
Sebagai perusahaan yang mempunyai tanggung jawab sosial, Unilever
Indonesia menjalankan program Corporate Social Responsibility (CSR) yang luas.
Keempat pilar program kami adalah Lingkungan, Nutrisi, Higiene dan Pertanian
Berkelanjutan. Program CSR termasuk antara lain kampanye Cuci Tangan dengan
Sabun (Lifebuoy), program Edukasi kesehatan Gigi dan Mulut (Pepsodent), program
Pelestarian Makanan Tradisional (Bango) serta program Memerangi Kelaparan untuk
membantu anak Indonesia yang kekurangan gizi (Blue Band).
Unilever Indonesia Memiliki Visi :
Empat pilar utama dari visi kami
menggambarkan arah jangka panjang dari perusahaan kemana tujuan kami dan bagaimana kami menuju
ke arah sana.
a) Kami bekerja untuk membangun masa depan
yang lebih baik setiap hari
b) Kami membantu orang-orang merasa nyaman,
berpenampilan baik dan lebih menikmati kehidupan dengan brand dan pelayanan
yang baik bagi mereka dan bagi orang lain
c) Kami menjadi sumber inspirasi orang-orang
untuk melakukan hal kecil setiap hari yang dapat membuat perbedaan besar bagi
dunia
d) Kami akan mengembangkan cara baru dalam
melakukan bisnis dengan tujuan membesarkan perusahaan kami dua kali lipat
sambil mengurangi dampak lingkungan
Senin, 04 November 2013
Skenario kejahatan PT. Duta Graha Indah terhadap proyek Wisma Atlet
Pemberantasan
korupsi sangat penting bagi keberlangsungan suatu negara mengingat korupsi bisa
menimbulkan permasalahan yang serius bagi negara karena membahayakan stabilitas
dan keamanan masyarakat; korupsi bisa merusak nilai – nilai demokrasi dan
moralitas; dan membahayakan pembangunan sosial, ekonomi dan politik. Oleh
karenanya, korupsi menjadi issu penting bagi setiap pemimpin negara – negara
maju dalam setiap agenda politiknya, agar mendapat dukungan baik dari rakyat
maupun partai politik. Supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih, dalam
suatu negara hukum, merupakan salah satu kunci berhasil tidaknya suatu negara
dalam melaksanakan tugas pemerintahan umum dan pembangunan di berbagai bidang.
Kesibukan negara kita untuk menciptakan good governance mulai nyata kelihatan,
dengan ditandai bersemangatnya lembaga – lembaga negara seperti PPATK dan KPK
dalam memerangi korupsi. Penegakan hukum kasus korupsi perlahan juga
menunjukkan kemajuan secara kwalitas, dengan dibongkarnya kasus-kasus korupsi
besar yang melibatkan tokoh elit politik maupun melibatkan korporasi. Yang
terkini adalah kasus korupsi Wisma Atlit. Kasus Wima Atlit menjadi hangat
dibicarakan karena melibatkan Nazaruddin, yang merupakan bendahara umum Partai
Demokrat, sehingga memunculkan dugaan, bahwa korupsi tersebut berkaitan dengan
pemenangan pemilu legislative dan pemilu presiden 2009. Dalam melakukan korupsi
yang merugikan keuanagan negara tersebut, tentunya Nazarudin tidak bekerja
sendiri. Menurut penulis ada suatu piranti atau tool of crime yang digunakan
Nazarudin untuk mencuri uang negara, yaitu: Pertama, ada proyek yang digunakan
untuk pengucuran keuangan negara. Kedua, ada organisasi yang digunakan untuk
managemen korupsi. Ketiga, adanya dukungan birokrasi yang berupa aturan atau
kebijakan, dan Keempat, ada korporasi yang digunakan untuk pengerjaan proyek
tersebut. Sehingga korupsi yang dilakukan Nazaruddin terlihat terstruktur dan
termasuk dalam kategori grand korupsi. Namun yang perlu digaris bawahi, hingga
saat ini penegak hukum belum menindak korporasi jahat yang terlibat dalam
pidana itu, sehingga dikawatirkan bisa merusak kewibawaan negara, sebab negara
dianggap tidak berdaya melawan korporasi. Dalam kajian teoritis, Koruptor bukan
saja harus dihukum tetapi juga harus dibongkar modus operandi dan sindikasinya
sehingga dari situ dapat ditemukan formula yang tepat untuk mencegah korupsi,
serta penegakan hukum yang telah dilakukan nantinya akan lebih adil dan memberi
manfaat bagi rakyat. Sepintas, kasus korupsi Wisma Atlit tersebut dapat
dikategorikan sebagai kejahatan korporasi karena dilakukan korporasi. Clinard
dalam Koesparmono mengatakan, bahwa kejahatan korporasi adalah setiap perbuatan
yang dilakukan oleh korporasi yang dapat dihukum oleh negara, tanpa
mengindahkan apakah dihukum berdasarkan hukum administratif, hukum perdata,
atau hukum pidana. Selain memiliki perluasan sanksi, kejahatan korporasi juga
unik karena dilakukan oleh orang kaya, terpelajar atau corporate executive yang
oleh Koesparmono dikatakan melampaui hukum pidana. Oleh karena itu kiranya
kajian kejahatan korporasi dalam kasus korupsi Wisma Atlit menjadi bahasan yang
menarik.
Kronologis
Kasus Wisma Atlit Korupsi Wisma Atlit terbongkar setelah dilakukan penyadapan
oleh tim penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan diketahui
kronologis kasus sebagai berikut: Nazaruddin selaku anggota DPR RI telah
mengupayakan agar PT Duta Graha Indah Tbk menjadi pemenang yang mendapatkan
proyek pembangunan wisma atlet dengan mendapat jatah uang sebesar Rp4,34 miliar
dengan nilai kontrak senilai Rp 191.672.000.000. jatah Nazarudin diberikan
dalam bentuk empat lembar cek dari PT DGI yang diberikan oleh Idris. Idris yang
mempunyai tugas mencari pekerjaan (proyek) untuk PT DGI, bersama-sama dengan
Dudung Purwadi selaku Direktur Utama PT DGI. Nazaruddin sendiri lalu bertemu
dengan Sesmenpora Wafid Muharam dengan ditemani oleh anak buahnya Rosa. Dalam
pertemuan yang terjadi sekitar Agustus 2010 di sebuah rumah makan di belakang
Hotel Century Senayan itu, Nazaruddin meminta Wafid untuk dapat
mengikutsertakan PT DGI dalam proyek yang ada di Kemenpora. Singkat cerita,
setelah mengawal PT DGI Tbk untuk dapat ikut serta dalam proyek pembangunan
Wisma Atlet, Rosa dan Idris lalu sepakat bertemu beberapa kali lagi untuk
membahas rencana pemberian success fee kepada pihak-pihak yang terkait dengan
pekerjaan pembangunan Wisma Atlet. Pada Desember 2010, PT DGI Tbk pun akhirnya
diumumkan sebagai pemenang lelang oleh panitia pengadaan proyek pembangunan
Wisma Atlet. Kemudian dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Mindo Rosalina
Manulang, eks direktur marketing Permai Group, perusahaan Nazaruddin mengatakan
bahwa Angelina Shondak dan I Wayan Koster juga menerima uang suap senilai Rp 5
miliar karena juga termasuk pihak-pihak terkait dalam pemenangan tender.
Korupsi
Wisma Atlit Dalam Pandangan Konsep Kejahatan Korporasi Korupsi Wisma Atilt
merupakan kejahatan white-colar crime dimana pelaku – pelakunya merupakan orang
cerdik pandai dan bukan orang miskin. Istilah white-colar crime pertama kali
dikemukakan oleh Sutherland, yang merujuk pada pelaku kelahatan dengan tipe
pelaku berasal dari orang – orang sosial ekonomi tinggi yang melakukan
pelanggaran – pelanggaran terhadap hukum. Pengertian kreteria pelaku kejahatan,
dalam kasus korupsi Wisma Atilt nampaknya sama dengan pengertian pelaku
kejahatan white-colar crime dari Sutherland yaitu dilakukan oleh kelompok
eksekutif.
Konsep kejahatan korporasi atau white-colar crime berbeda dengan kejahatan konvensional. Dalam konsep kejahatan konvensional yang dikatakan sebagai penjahat adalah orang yang melakukan kejahatan secara langsung, sedangkan pelaku kejahatan dalam kejahatan korporasi adalah korporasi yang melakukan pelanggaran. Walaupun sebetulnya pelakunya juga orang – orang dalam korporasi. Oleh karena itu, tidak gampang menentukan pelaku dalam kasus tersebut, mengingat korupsi tersebut dilakukan oleh banyak pihak, terstruktur dan melibatkan birokrasi. Selain itu hukum pidana kita juga terbiasa hanya menjerat pelaku langsung dimana biasanya orang-orang di belakang yang mengatur terjadinya kejahatan sulit tersentuh oleh hukum.
Korporasi yang melakukan kejahatan korupsi melakukan praktek-praktek illegal sebagai sarana untuk melakukan korupsi, misalnya dengan melakukan penyuapan kepada pajabat negara atau pemegang kebijakan lelang, Mark up nilai proyek, pengurangan kwalitas produk dan sebagainya. Kejahatan – kejahatan tersebut sulit diketahui oleh masyarakat karena memang kejahatan yang terselubung (invincible crime) dan dibungkus dengan aturan – aturan yang bisa dicari alasan pembenarnya. Kejahatan tersebut baru bisa dikekahui bila ada orang dalam atau seseorang yang membocorkannya kepada public. Kemudian penegak hukum melakukan penyelidikan dengan melibatkan auditor keuangan, sehingga kejahtan tersebut menjadi terang. Menurut Koesparmono, suatu kejahatan diangap sebagai kejahatan korporasi jika mengandung unsur – unsur sebagi berikut: (1), Tindak pidana dilakukan oleh orang –orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain dalam lingkup usaha korposari tersebut baik sendiri – sendiri atau bersama – sama. (2), Perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan. (3), Pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. Pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi. Lebih lanjut Koesparmono juga mengatakan bahwa, berdasarkan rumusan unsur pertama, yang disebut kejahatan korporasi tidak terbatas pada kejahatan yang dilakukan oleh pengurus korporasi tetapi juga yang dilakukan oleh orang – orang yang bertindak untuk kepentingan korporasi, misalnya staf atau tenaga kontrak yang memiliki hubungan kerja dalam korporasi. Oleh karena itu jika kita memfonis bahwa kejahatan korupsi Wisma Atlit sebgai kejahatan korporasi, maka unsur – unsur kejahatan atau pidana kejahatan tersebut harus masuk dalam kreteria unsur – unsur kejahatan korporasi. Kemudian berkaitan dengan unsur ketiga, maka selain pertanggung jawaban perorangan, tanggung jawab hukum kejahatan korupsi Wisma Atlit juga bisa dibebankan kepada korporasi yang terlibat. Namun poin ini belum dilakukan oleh penyidik KPK atau penegak hukum lainnya.
Berdasarkan sumber yang telah diperoleh, kasus korupsi Wiama Atlit dilakukan secara terstruktur dalam wadah perusahaan dan melibatkan penyelenggara negara. Kasus penyuapan yang terjadi merupakan upaya memuluskan agar tender jatuh kepada perusaan tertentu. Penulis meyakini semua rumusan unsur dalam definisi kejahatan korporasi singkron dengan kejahatan korupsi Wisma Atlit dengan pertimbangan sebagai berikut: Pertama Tindak pidana dilakukan oleh orang –orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain dalam lingkup usaha korposari tersebut baik sendiri – sendiri atau bersama – sama. Pemikirannya adalah, bahwa proyek tersebut merupakan proyek besar yang memakan biaya senilai Rp 191.672.000.000 yang tidak mungkin struktur tertinggi dalam korporasi tidak mengetahui jika PT DGI bagi-bagi Suap Wisma Atlet. Bukti tersebut sebetulnya sudah cukup kuat untuk membuat dugaan bahwa, apa yang dilakukan PT DGI dikategorikan sebagai kejahatan korporasi karena bagi-bagi uang suap kepada beberapa pihak diketahui oleh petinggi-petinggi PT tersebut, seperti Direktur Utama Dudung Purwadi. Bukan hanya itu, fakta lain yang mendukung tuduhan itu adalah cek yang diberikan PT DGI ke pada pihak – pihak terkait pemenangan tender termasuk yang diberikan kepada Wafid Muharram ditandatangani bagian keuangan PT DGI. Kemudian untuk unsur Kedua yaitu: bahwa perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan. Dimana Analoginya adalah proyek tersebut adalah proyek negara, yang tidak mungkin diberikan kepada perusaan yang tidak legal. Perusahaan yang di menangkan dalam tender oleh Kementrian Pemuda dan olahraga pasti mempunyai spesifikasi sesuai dengan kebutuhan proyek, termasuk yang menyangkut masalah kelengkapan administrasi perusahaan. Olehkarena itu, rumusan unsur Ketiga yaitu pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan atau pengurusnya dapat diterapkan dalam kasus ini. Mengacu pada asumsi demikian, penulis memiliki pemikiran bahwa seluruh pihak terkait kasus tersebut, dapat dikenakan pidana berdasarkan rumusan delik pada KUHP atau dengan Undang-Undang KPK sesuai dengan perannya masing masing. Kemudian untuk korporasi yang terlibat dapat dijatuhi sanksi sesuai aturan dalam kejahatan korporasi misalnya digugat perdata ataupun penutupan opersional perusahaan. Sehingga, seharusnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak memeriksa para saksi dan tersangka kasus suap wisma atlet dalam kapasitas sebagai individu, tetapi sebagai pengurus korporasi agar korporasi juga bisa dijatuhi sanksi karena bentuk penjatuhan sanksi kepada korporasi merupakan bagian kontrol pemerintah kepada korporasi. Dalam konteks negara, seharusnya keseriusan negara dalam memberantas korupsi juga harus dipertanyakan, dimana kejahatan tersebut banyak melibatkan penyelenggara negara serta kebijakan–kebijakan atau regulasi yang dikeluarkan oleh negara kerap membuat celah terjadinya korupsi. Hal ini mengisyaratkan bahwa negeri ini belum mampu membuat regulasi dan sistem yang kebal terhadap korupsi. Romany mengatakan, seharusnya negara dengan kekuasaan politiknya, bisa menjamin terselenggaranya kebijakan dan kinerja yang efektif bersih, bukan sebaliknya, melalui pejabat publiknya dan jajarannya bertindak melawan hukum dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Kendati demikian, negara bukan termasuk korporasi yang tidak bisa dimintai pertanggung jawaban layaknya korporasi, namun pejabat–pejabatnya yang terkait kejahatan bisa dipidana.
Konsep kejahatan korporasi atau white-colar crime berbeda dengan kejahatan konvensional. Dalam konsep kejahatan konvensional yang dikatakan sebagai penjahat adalah orang yang melakukan kejahatan secara langsung, sedangkan pelaku kejahatan dalam kejahatan korporasi adalah korporasi yang melakukan pelanggaran. Walaupun sebetulnya pelakunya juga orang – orang dalam korporasi. Oleh karena itu, tidak gampang menentukan pelaku dalam kasus tersebut, mengingat korupsi tersebut dilakukan oleh banyak pihak, terstruktur dan melibatkan birokrasi. Selain itu hukum pidana kita juga terbiasa hanya menjerat pelaku langsung dimana biasanya orang-orang di belakang yang mengatur terjadinya kejahatan sulit tersentuh oleh hukum.
Korporasi yang melakukan kejahatan korupsi melakukan praktek-praktek illegal sebagai sarana untuk melakukan korupsi, misalnya dengan melakukan penyuapan kepada pajabat negara atau pemegang kebijakan lelang, Mark up nilai proyek, pengurangan kwalitas produk dan sebagainya. Kejahatan – kejahatan tersebut sulit diketahui oleh masyarakat karena memang kejahatan yang terselubung (invincible crime) dan dibungkus dengan aturan – aturan yang bisa dicari alasan pembenarnya. Kejahatan tersebut baru bisa dikekahui bila ada orang dalam atau seseorang yang membocorkannya kepada public. Kemudian penegak hukum melakukan penyelidikan dengan melibatkan auditor keuangan, sehingga kejahtan tersebut menjadi terang. Menurut Koesparmono, suatu kejahatan diangap sebagai kejahatan korporasi jika mengandung unsur – unsur sebagi berikut: (1), Tindak pidana dilakukan oleh orang –orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain dalam lingkup usaha korposari tersebut baik sendiri – sendiri atau bersama – sama. (2), Perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan. (3), Pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. Pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi. Lebih lanjut Koesparmono juga mengatakan bahwa, berdasarkan rumusan unsur pertama, yang disebut kejahatan korporasi tidak terbatas pada kejahatan yang dilakukan oleh pengurus korporasi tetapi juga yang dilakukan oleh orang – orang yang bertindak untuk kepentingan korporasi, misalnya staf atau tenaga kontrak yang memiliki hubungan kerja dalam korporasi. Oleh karena itu jika kita memfonis bahwa kejahatan korupsi Wisma Atlit sebgai kejahatan korporasi, maka unsur – unsur kejahatan atau pidana kejahatan tersebut harus masuk dalam kreteria unsur – unsur kejahatan korporasi. Kemudian berkaitan dengan unsur ketiga, maka selain pertanggung jawaban perorangan, tanggung jawab hukum kejahatan korupsi Wisma Atlit juga bisa dibebankan kepada korporasi yang terlibat. Namun poin ini belum dilakukan oleh penyidik KPK atau penegak hukum lainnya.
Berdasarkan sumber yang telah diperoleh, kasus korupsi Wiama Atlit dilakukan secara terstruktur dalam wadah perusahaan dan melibatkan penyelenggara negara. Kasus penyuapan yang terjadi merupakan upaya memuluskan agar tender jatuh kepada perusaan tertentu. Penulis meyakini semua rumusan unsur dalam definisi kejahatan korporasi singkron dengan kejahatan korupsi Wisma Atlit dengan pertimbangan sebagai berikut: Pertama Tindak pidana dilakukan oleh orang –orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain dalam lingkup usaha korposari tersebut baik sendiri – sendiri atau bersama – sama. Pemikirannya adalah, bahwa proyek tersebut merupakan proyek besar yang memakan biaya senilai Rp 191.672.000.000 yang tidak mungkin struktur tertinggi dalam korporasi tidak mengetahui jika PT DGI bagi-bagi Suap Wisma Atlet. Bukti tersebut sebetulnya sudah cukup kuat untuk membuat dugaan bahwa, apa yang dilakukan PT DGI dikategorikan sebagai kejahatan korporasi karena bagi-bagi uang suap kepada beberapa pihak diketahui oleh petinggi-petinggi PT tersebut, seperti Direktur Utama Dudung Purwadi. Bukan hanya itu, fakta lain yang mendukung tuduhan itu adalah cek yang diberikan PT DGI ke pada pihak – pihak terkait pemenangan tender termasuk yang diberikan kepada Wafid Muharram ditandatangani bagian keuangan PT DGI. Kemudian untuk unsur Kedua yaitu: bahwa perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan. Dimana Analoginya adalah proyek tersebut adalah proyek negara, yang tidak mungkin diberikan kepada perusaan yang tidak legal. Perusahaan yang di menangkan dalam tender oleh Kementrian Pemuda dan olahraga pasti mempunyai spesifikasi sesuai dengan kebutuhan proyek, termasuk yang menyangkut masalah kelengkapan administrasi perusahaan. Olehkarena itu, rumusan unsur Ketiga yaitu pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan atau pengurusnya dapat diterapkan dalam kasus ini. Mengacu pada asumsi demikian, penulis memiliki pemikiran bahwa seluruh pihak terkait kasus tersebut, dapat dikenakan pidana berdasarkan rumusan delik pada KUHP atau dengan Undang-Undang KPK sesuai dengan perannya masing masing. Kemudian untuk korporasi yang terlibat dapat dijatuhi sanksi sesuai aturan dalam kejahatan korporasi misalnya digugat perdata ataupun penutupan opersional perusahaan. Sehingga, seharusnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak memeriksa para saksi dan tersangka kasus suap wisma atlet dalam kapasitas sebagai individu, tetapi sebagai pengurus korporasi agar korporasi juga bisa dijatuhi sanksi karena bentuk penjatuhan sanksi kepada korporasi merupakan bagian kontrol pemerintah kepada korporasi. Dalam konteks negara, seharusnya keseriusan negara dalam memberantas korupsi juga harus dipertanyakan, dimana kejahatan tersebut banyak melibatkan penyelenggara negara serta kebijakan–kebijakan atau regulasi yang dikeluarkan oleh negara kerap membuat celah terjadinya korupsi. Hal ini mengisyaratkan bahwa negeri ini belum mampu membuat regulasi dan sistem yang kebal terhadap korupsi. Romany mengatakan, seharusnya negara dengan kekuasaan politiknya, bisa menjamin terselenggaranya kebijakan dan kinerja yang efektif bersih, bukan sebaliknya, melalui pejabat publiknya dan jajarannya bertindak melawan hukum dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Kendati demikian, negara bukan termasuk korporasi yang tidak bisa dimintai pertanggung jawaban layaknya korporasi, namun pejabat–pejabatnya yang terkait kejahatan bisa dipidana.
Penutup
Ada tiga konsekuensi yang akan diterima PT Duta Graha Indah jika memang terbukti melakukan kejahatan korporasi.
Pakar hukum pidana, Yenti Garnasih mengatakan, kemungkinan pertama yang akan diterima adalah, siapa saja pengurus, termasuk pimpinan dan memegang decision maker. Untuk kemungkinan pertama, sudah ada yang menjadi korban. Manajer Pemasaran PT DGI Mohammad El Idris divonis dua tahun penjara. Selain itu El Idris didenda Rp 200 subsider enam bulan kurungan.
"Kemungkinan kedua, yang dapat dipidana adalah korporasinya yang dihukum. Sanksinya, perusahaan tersebut bisa dibekukan dan dijatuhi denda," sambungnya.
Yang ketiga, sambung Doktor Pencucian Uang Pertama di Indonesia, adalah kombinasi keduanya, yakni pihak korporasi dan pengurusnya sama-sama dihukum
Pakar hukum pidana, Yenti Garnasih mengatakan, kemungkinan pertama yang akan diterima adalah, siapa saja pengurus, termasuk pimpinan dan memegang decision maker. Untuk kemungkinan pertama, sudah ada yang menjadi korban. Manajer Pemasaran PT DGI Mohammad El Idris divonis dua tahun penjara. Selain itu El Idris didenda Rp 200 subsider enam bulan kurungan.
"Kemungkinan kedua, yang dapat dipidana adalah korporasinya yang dihukum. Sanksinya, perusahaan tersebut bisa dibekukan dan dijatuhi denda," sambungnya.
Yang ketiga, sambung Doktor Pencucian Uang Pertama di Indonesia, adalah kombinasi keduanya, yakni pihak korporasi dan pengurusnya sama-sama dihukum
Kamis, 24 Oktober 2013
Tugas Softskill "ETIKA BISNIS"
Nama : M.Rizky.Masrie
Kelas : 4EA09
NPM : 14210608
ETIKA BISNIS
Contoh kasus perusahaan yang melanggar etika bisnis
PT. Metro Batavia (Batavia Air)
Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Bagus Irawan, menyatakan berdasarkan putusan Nomor 77 mengenai pailit, PT Metro Batavia (Batavia Air)dinyatakan pailit. “Yang menarik dari persidangan ini, Batavia mengaku tidak bisa membayar utang,” ujarnya, seusai sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 30 Januari 2013.
Ia menjelaskan, Batavia Air mengatakan tidak bisa membayar utang karena “force majeur”. Batavia Air menyewa pesawat Airbus dari International Lease Finance Corporation (ILFC) untuk angkutan haji. Namun, Batavia Air kemudian tidak memenuhi persyaratan untuk mengikuti tender yang dilakukan pemerintah.
Gugatan yang diajukan ILFC bernilai US$ 4,68 juta, yang jatuh tempo pada 13 Desember 2012. Karena Batavia Air tidak melakukan pembayaran, maka ILFC mengajukan somasi atau peringatan. Namun akrena maskapai itu tetap tidak bisa membayar utangnya, maka ILFC mengajukan gugatan pailit kepada Batavia Air di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pesawat yang sudah disewa pun menganggur dan tidak dapat dioperasikan untuk menutup utang.
dari bukti-bukti yang diajukan ILFC sebagai pemohon, ditemukan bukti adanya utang oleh Batavia Air. Sehingga sesuai aturan normatif, pengadilan menjatuhkan putusan pailit. Ada beberapa pertimbangan pengadilan. Pertimbangan-pertimbangan itu adalah adanya bukti utang, tidak adanya pembayaran utang, serta adanya kreditur lain. Dari semua unsur tersebut, maka ketentuan pada pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan terpenuhi.
Jika menggunakan dalil “force majeur” untuk tidak membayar utang, Batavia Air harus bisa menyebutkan adanya syarat-syarat kondisi itu dalam perjanjian. Namun Batavia Air tidak dapat membuktikannya. Batavia Air pun diberi kesempatan untuk kasasi selama 8 hari. “Kalau tidak mengajukan, maka pailit tetap,”
Batavia Air pasrah dengan kondisi ini. Artinya, kata dia, Batavia Air sudah menghitung secara finansial jumlah modal dan utang yang dimiliki. Ia pun menuturkan, dengan dipailitkan, maka direksi Batavia Air tidak bisa berkecimpung lagi di dunia penerbangan.
Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Herry Bakti meminta pada Batavia Air untuk memberikan informasi pada seluruh calon penumpang yang sudah membeli tiket. Agar informasi ini menyebar secara menyeluruh, Batavia Air diharus siaga di bandara seluruh Indonesia, Kamis (31/1).
“Kepada Batavia Air kami minta besok mereka untuk standby di lapangan Bandara di seluruh Indonesia? Untuk memberi penjelasan dan menangani penumpang-penumpang itu. Jadi kami minta mereka untuk stay di sana,” ujar Herry saat mengelar jumpa pers di kantornya, Jakarta, Rabu malam (30/1).
Herry mengatakan pemberitahuan ini sudah disampaikan kepada Batavia Air. “Kami sudah kirim informasi ini ke bandara-bandara yang ada untuk melakukan antisipasi besok di bandara (31/1),” imbuh Herry.
Menurut Herry, meskipun pangsa pasar Batavia Air tidak banyak tapi menurut siaga di bandara itu perlu dilakukan untuk mengantisipasi kebingungan pelanggan serta meminimalisir tudingan-tudingan bahwa pihak Batavia tidak bertanggungjawab.
Analisis :
Siapa yang melakukan:
Pihak PT METRO BATAVIA (Batavia Air)
Jenis Pelanggaran :
Gugatan yang diajukan ILFC bernilai US$ 4,68 juta, yang jatuh tempo pada 13 Desember 2012. Karena Batavia Air tidak melakukan pembayaran, maka ILFC mengajukan somasi atau peringatan. Namun akrena maskapai itu tetap tidak bisa membayar utangnya, maka ILFC mengajukan gugatan pailit kepada Batavia Air di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pesawat yang sudah disewa pun menganggur dan tidak dapat dioperasikan untuk menutup utang.
Bagaimana :
Batavia Air mengatakan tidak bisa membayar utang karena “force majeur”. Batavia Air menyewa pesawat Airbus dari International Lease Finance Corporation (ILFC) untuk angkutan haji. Namun, Batavia Air kemudian tidak memenuhi persyaratan untuk mengikuti tender yang dilakukan pemerintah.
Dampak/ Akibat :
Batavia Air sudah menghitung secara finansial jumlah modal dan utang yang dimiliki. Ia pun menuturkan, dengan dipailitkan, maka direksi Batavia Air tidak bisa berkecimpung lagi di dunia penerbangan, dan calon penumpang (Pembeli tiket) Batavia Air menjadi terlantar pada hari hari berikutnya.
Tindakan Pemerintah :
Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Herry Bakti meminta pada Batavia Air untuk memberikan informasi pada seluruh calon penumpang yang sudah membeli tiket. Agar informasi ini menyebar secara menyeluruh, Batavia Air diharus siaga di bandara seluruh Indonesia.
Kesimpulan :
Pendapat saya pribadi ketika melihat pelanggaran berikut ini adalah Kurangnya pertimbangan dari pihak manajemen Batavia Air untuk mengambil suatu keputusan, apakah yang di sebutkan sebagai pengambilan keputusan sebagai strategi pemenang tender dalam proyek Haji tersebut sudah Pihak Batavia Air sudah mampu bersaing dengan Perusahaan perusahaan Penerbangan lain yang ikut persaing Tender Pemerintah. Jika Tidak mampu menangani proyek pemerintah tersebut tentunya akan menjadi Bomerang bagi pihak manajemen yang sudah mengorbankan asetnya dan terikat janji untuk memenangkan Tender tersebut.
Faktor Affecting Public :
Pada sisi Faktor Physical juga apakah Qualitas atau mutu Batavia Air sudah termasuk dalam standar maskapai penerbangan Haji.
Sedangkan dalam faktor Competition banyak terdapat pesaing pesaing lain atau maskapai lain yang lebih tinggi menawarkan tender, sehingga batavia mengalami kalah tender,
Dalam faktor Financial, dan Ekonomic juga permasalahan tersebut saya pikir pihak manajemen Batavia terlalu terburu buru dalam menentukan sewa pesawat kepada (ILFC).
Lalu yang paling terpenting adalah Faktor Moral, dari sisi konsumen atau penumpang yang sudah memesan Tiket pesawat juga terlantar begitu saat hari berikutnya saat Batavia air di umumkan Pailit hal ini sangat merugikan calon penumpang, dan Batavia Air harus mempertnaggung jawab atas keterlantaran penumpang tersebut.
Undang undang yang dilanggar :
Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan
1. Pasal 4, hak konsumen adalah :
Ayat 1 : “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”
Ayat 3 : “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”
2. Pasal 7, kewajiban pelaku usaha adalah :
Ayat 2 : “memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”
3. Pasal 8
Ayat 1 : “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan”
Ayat 4 : “Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran”
4. Pasal 19
Ayat 1 : “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”
Ayat 2 : “Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Ayat 3 : “Pemberian ganti rugi dilaksanak
Kelas : 4EA09
NPM : 14210608
ETIKA BISNIS
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia etika
adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat. Etika adalah Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk,
tentang hak dan kewajiban moral. Definisi etika bisnis sendiri sangat
beraneka ragam tetapi memiliki satu pengertian yang sama, yaitu sebagai
batasan-batasan sosial, ekonomi, dan hukum yang bersumber dari
nilai-nilai moral masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan oleh
perusahaan dalam setiap aktivitasnya (Amirullah & Imam Hardjanto,
2005)
PT. Metro Batavia (Batavia Air)
Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Bagus Irawan, menyatakan berdasarkan putusan Nomor 77 mengenai pailit, PT Metro Batavia (Batavia Air)dinyatakan pailit. “Yang menarik dari persidangan ini, Batavia mengaku tidak bisa membayar utang,” ujarnya, seusai sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 30 Januari 2013.
Ia menjelaskan, Batavia Air mengatakan tidak bisa membayar utang karena “force majeur”. Batavia Air menyewa pesawat Airbus dari International Lease Finance Corporation (ILFC) untuk angkutan haji. Namun, Batavia Air kemudian tidak memenuhi persyaratan untuk mengikuti tender yang dilakukan pemerintah.
Gugatan yang diajukan ILFC bernilai US$ 4,68 juta, yang jatuh tempo pada 13 Desember 2012. Karena Batavia Air tidak melakukan pembayaran, maka ILFC mengajukan somasi atau peringatan. Namun akrena maskapai itu tetap tidak bisa membayar utangnya, maka ILFC mengajukan gugatan pailit kepada Batavia Air di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pesawat yang sudah disewa pun menganggur dan tidak dapat dioperasikan untuk menutup utang.
dari bukti-bukti yang diajukan ILFC sebagai pemohon, ditemukan bukti adanya utang oleh Batavia Air. Sehingga sesuai aturan normatif, pengadilan menjatuhkan putusan pailit. Ada beberapa pertimbangan pengadilan. Pertimbangan-pertimbangan itu adalah adanya bukti utang, tidak adanya pembayaran utang, serta adanya kreditur lain. Dari semua unsur tersebut, maka ketentuan pada pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan terpenuhi.
Jika menggunakan dalil “force majeur” untuk tidak membayar utang, Batavia Air harus bisa menyebutkan adanya syarat-syarat kondisi itu dalam perjanjian. Namun Batavia Air tidak dapat membuktikannya. Batavia Air pun diberi kesempatan untuk kasasi selama 8 hari. “Kalau tidak mengajukan, maka pailit tetap,”
Batavia Air pasrah dengan kondisi ini. Artinya, kata dia, Batavia Air sudah menghitung secara finansial jumlah modal dan utang yang dimiliki. Ia pun menuturkan, dengan dipailitkan, maka direksi Batavia Air tidak bisa berkecimpung lagi di dunia penerbangan.
Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Herry Bakti meminta pada Batavia Air untuk memberikan informasi pada seluruh calon penumpang yang sudah membeli tiket. Agar informasi ini menyebar secara menyeluruh, Batavia Air diharus siaga di bandara seluruh Indonesia, Kamis (31/1).
“Kepada Batavia Air kami minta besok mereka untuk standby di lapangan Bandara di seluruh Indonesia? Untuk memberi penjelasan dan menangani penumpang-penumpang itu. Jadi kami minta mereka untuk stay di sana,” ujar Herry saat mengelar jumpa pers di kantornya, Jakarta, Rabu malam (30/1).
Herry mengatakan pemberitahuan ini sudah disampaikan kepada Batavia Air. “Kami sudah kirim informasi ini ke bandara-bandara yang ada untuk melakukan antisipasi besok di bandara (31/1),” imbuh Herry.
Menurut Herry, meskipun pangsa pasar Batavia Air tidak banyak tapi menurut siaga di bandara itu perlu dilakukan untuk mengantisipasi kebingungan pelanggan serta meminimalisir tudingan-tudingan bahwa pihak Batavia tidak bertanggungjawab.
Analisis :
Siapa yang melakukan:
Pihak PT METRO BATAVIA (Batavia Air)
Jenis Pelanggaran :
Gugatan yang diajukan ILFC bernilai US$ 4,68 juta, yang jatuh tempo pada 13 Desember 2012. Karena Batavia Air tidak melakukan pembayaran, maka ILFC mengajukan somasi atau peringatan. Namun akrena maskapai itu tetap tidak bisa membayar utangnya, maka ILFC mengajukan gugatan pailit kepada Batavia Air di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pesawat yang sudah disewa pun menganggur dan tidak dapat dioperasikan untuk menutup utang.
Bagaimana :
Batavia Air mengatakan tidak bisa membayar utang karena “force majeur”. Batavia Air menyewa pesawat Airbus dari International Lease Finance Corporation (ILFC) untuk angkutan haji. Namun, Batavia Air kemudian tidak memenuhi persyaratan untuk mengikuti tender yang dilakukan pemerintah.
Dampak/ Akibat :
Batavia Air sudah menghitung secara finansial jumlah modal dan utang yang dimiliki. Ia pun menuturkan, dengan dipailitkan, maka direksi Batavia Air tidak bisa berkecimpung lagi di dunia penerbangan, dan calon penumpang (Pembeli tiket) Batavia Air menjadi terlantar pada hari hari berikutnya.
Tindakan Pemerintah :
Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Herry Bakti meminta pada Batavia Air untuk memberikan informasi pada seluruh calon penumpang yang sudah membeli tiket. Agar informasi ini menyebar secara menyeluruh, Batavia Air diharus siaga di bandara seluruh Indonesia.
Kesimpulan :
Pendapat saya pribadi ketika melihat pelanggaran berikut ini adalah Kurangnya pertimbangan dari pihak manajemen Batavia Air untuk mengambil suatu keputusan, apakah yang di sebutkan sebagai pengambilan keputusan sebagai strategi pemenang tender dalam proyek Haji tersebut sudah Pihak Batavia Air sudah mampu bersaing dengan Perusahaan perusahaan Penerbangan lain yang ikut persaing Tender Pemerintah. Jika Tidak mampu menangani proyek pemerintah tersebut tentunya akan menjadi Bomerang bagi pihak manajemen yang sudah mengorbankan asetnya dan terikat janji untuk memenangkan Tender tersebut.
Faktor Affecting Public :
Pada sisi Faktor Physical juga apakah Qualitas atau mutu Batavia Air sudah termasuk dalam standar maskapai penerbangan Haji.
Sedangkan dalam faktor Competition banyak terdapat pesaing pesaing lain atau maskapai lain yang lebih tinggi menawarkan tender, sehingga batavia mengalami kalah tender,
Dalam faktor Financial, dan Ekonomic juga permasalahan tersebut saya pikir pihak manajemen Batavia terlalu terburu buru dalam menentukan sewa pesawat kepada (ILFC).
Lalu yang paling terpenting adalah Faktor Moral, dari sisi konsumen atau penumpang yang sudah memesan Tiket pesawat juga terlantar begitu saat hari berikutnya saat Batavia air di umumkan Pailit hal ini sangat merugikan calon penumpang, dan Batavia Air harus mempertnaggung jawab atas keterlantaran penumpang tersebut.
Undang undang yang dilanggar :
Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan
1. Pasal 4, hak konsumen adalah :
Ayat 1 : “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”
Ayat 3 : “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”
2. Pasal 7, kewajiban pelaku usaha adalah :
Ayat 2 : “memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”
3. Pasal 8
Ayat 1 : “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan”
Ayat 4 : “Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran”
4. Pasal 19
Ayat 1 : “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”
Ayat 2 : “Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Ayat 3 : “Pemberian ganti rugi dilaksanak
Langganan:
Postingan (Atom)